Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir (ORTN) – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Rohadi Awaludin, berharap berbagai kegiatan terkait teknologi akselerator dapat diperluas dan dikembangkan di Indonesia, salah satunya siklotron.
Siklotron adalah salah satu jenis akselerator atau alat yang digunakan untuk mempercepat partikel dengan lintasan berbentuk siklik (lingkaran) untuk memperoleh energi kinetik yang tinggi.
Partikel yang dimaksud dapat berupa partikel proton atau deuteron.
“Saat ini teknologi akselerator atau siklotron terus berkembang dan digunakan di berbagai bidang,” kata Rohadi dalam webinar AcceleratorTalk#4 yang mengusung tema “Accelerator Technology: Strengthening Capacity Building in Cyclotron Technology”, Selasa, 16 Agustus 2022.
“Aplikasi teknologi ini dapat digunakan di berbagai bidang, seperti kesehatan, industri dan banyak lagi.” Narasumber dari Sungkyunkwan University-Korea, Prof.
Jong Seo Chai, menjelaskan bahwa penggunaan siklotron penting dalam bidang medis.
“Siklotron adalah alat terbaik, banyak perusahaan menggunakan siklotron khususnya untuk medis,” jelasnya.
Seo Chai memaparkan perkembangan teknologi siklotron di Korea serta tentang sejarah penemuan siklotron dan perkembangannya sejak ditemukan.
Pada tahun 1931 siklotron ditemukan oleh Ernest O.
Lawrence dari University of California, Barkeley, Amerika Serikat.
Awalnya dia membuat akselerator surya yang sangat kecil dengan ukuran diameter 4,5 inci dan mempercepat pancaran proton hingga sekitar 110 KeV.
Dari penemuan tersebut kemudian siklotron mulai dikembangkan di beberapa negara.
Perkembangan siklotron ini dianggap sebuah ilmu baru di dunia.
Sementara itu perwakilan tim Development of Experimental Cyclotron in Yogyakarta (DECY) 13 dari Pusat Riset Teknologi Akselerator-BRIN, Taufik, mengatakan bahwa aplikasi siklotron yang sudah dilakukan di antaranya produksi radioisotop, forensik nuklir, mutasi genetik, Accelerator Driven System (ADS), laboratorium nuklir, penelitian material, Boron Neutron Capture Therapy (BNTC).
“Menurut database IAEA (International Atomic Energy Agency) ada 1.283 siklotron yang sudah digunakan di dunia, tiga diantaranya ada di Indonesia,” jelas Taufik.
Pengembangan 13 MeV siklotron di Indonesia dilakukan dengan persiapan sumber daya manusia, peningkatan kapasitas, mengembangkan siklotron untuk aplikasi yang mungkin memerlukan arus sinar atau energi tertentu di masa depan, dan juga penelitian radioisotope.
Taufik juga menjelaskan perkembangan penelitian utama di bidang akselerator yang dimulai pada tahun 1983 dengan energi 150 keV ion implant.
Kemudian pada tahun 1987 menggunakan generator neutron, dan tahun 2003 sudah menggunakan mesin berkas electron.
Sementara, pengembangan DECY-13 Cyclotron sudah dilakukan sejak tahun 2009, dengan target komisioning pada tahun 2024.
Prof.
Kuwat Triyana, Dekan Fakultas MIPA Universitas Gajah Mada, mengatakan terkait penguatan kemampuan dalam teknologi siklotron di Indonesia, tujuan penelitian adalah untuk mendukung kemandirian dalam desain siklotron untuk produksi radioisotop sebagai bahan baku radiofarmasi.
Kuwat juga menjelaskan strategi yang digunakan dalam pengembangan DECY-13 Cyclotron yaitu Internet Accelerator Laboratory (IAL) yang diresmikan pada tahun 2014.
“Terkait internet laboratory, ada tiga tipe laboratorium untuk proses rekayasa, yaitu laboratorium pengembangan digunakan untuk desain produk langsung atau spesifik, laboratorium penelitian digunakan untuk observasi ekstensif, dan laboratorium edukasi yang biasa digunakan pelajar dalam mempelajari ilmu yang ada,” jelasnya.
Menurutnya, dalam memperkuat strategi pengembangan DECY-13 Cyclotron, perlu memanfaatkan metaverse sebagai edukasi dengan menggunakan empat aspek, yaitu Augmented Reality, Lifelogging, Mirror Word, dan Virtual Reality.
“Jadi ini merupakan tantangan dalam mengimplementasikan empat aspek tersebut guna memperkuat kemampuan mengembangkan DECY-13 Cyclotron,” tutur Kuwat.
Pada kesempatan yang sama, Head of Cyclotron Section Thailand Institute of Nuclear Technology, Akkapob Ngamlamiad berbagi pengalamannya dalam pembangunan fasilitas Siklotron di negaranya.
“Pada awalnya kami memiliki budget yang terbatas, sehingga di awal kami fokus membangun fasilitas yang penting dan membagi dana ke beberapa pos penting.
Setelah itu dilakukan pembaruan dan pembangunan fasilitas lain secara bertahap,” jelas Akkapob.
Ia juga menjelaskan bahwa dalam pengembangan fasilitas siklotron Thailand menjalin kerja sama dengan Rusia.
Pada awalnya, pihaknya mengirimkan desain fasilitas siklotron, namun pada tahap selanjutnya berkembang menjadi pihak Rusia yang membuat desain bagi negaranya dengan tetap melibatkan masukan dari tim Akkapob.